content top

Kamis, 08 Maret 2012

Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan

Pada peringata hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret 2012 , sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan yang memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini, peran perempuan di sektor pangan sangat besar.
Pangan disini mencakup hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan. Desakan ini datang dari Aliansi untuk Desa Sejahtera, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Sawit Watch, di Kedai Tjikini, Selasa (6/3).
Di bidang pertanian,mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, selama periode 2001-2006 jumlah petani perempuan mencapai 55,2% dari total petani saat itu. Sedangkan petani laki-laki hanya 46%. Namun, sampai kini pemerintah masih membuat kebijakan yang tidak memihak kepada perempuan. "Pemerintah belum menjadikan perempuan sebagai pelaku di sektor pertanian, meski faktanya sudah sangat jelas," kata Said Abdullah, Koordinator Advokasi dan Jaringan KRKP.
Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya, benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar karena perempuan dianggap lebih teliti.
Peran perempuan dalam pertanian ini juga terlihat dari anggota komunitas pangan bernama lumbung pangan. Di lumbung pangan yang sekarang sudah berdiri di 14 kabupaten, banyak petani perempuan terlibat dalam seluruh proses dan kegiatan pertanian. Di lumbung Dowaluh Bantul, Yogyakarta, misalnya, petani perempuan berperan dalam menyiapkan benih, mengelola lumbung benih, menanam dan menyiangi padi. "Bahkan untuk penyediaan pupuk bagi anggota lumbung, petani perempuan mengelompokkan diri menjadi produsen yang menyediakan kebutuhan anggota," tutur Said.
Lumbung pangan adalah semacam komunitas pangan yang pembentukkannya didorong oleh KRKP. Selain berfungsi sebagai institusi ketahanan pangan bagi masyarakat desa setempat, lumbung pangan ini dibuat untuk menjadi contoh sekaligus kritik kepada peran Bulog dan Gapoktan bentukan Kementerian Pertanian yang dianggap kurang berperan langsung kepada petani.
Di daerah lain, banyak petani perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat setempat disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah semakian luas hingga lintas kecamatan. "Di mana perhatian pemerintah kepada mereka?," tanya Said.
Di sektor perikanan, KIARA juga mencatat peran perempuan sangat besar. "Sekitar 48% penghasilan keluarga disumbang oleh perempuan," kata Mida Saragih, dari KIARA. Peran perempuan bertambah besar bagi keluarga nelayan apabila kondisi cuaca sedang buruk sehingga nelayan tidak bisa melaut.
Saat ini Kiara bermitra dengan 23 kelompok nelayan di Indonesia. Catatan Kiara di sejumlah daerah di 10 provinsi, perempuan nelayan memiliki peran yang penting bagi keluarga nelayan. Contohnya di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, kelompok nelayan perempuan Muara Tanjung memproduksi baksi ikan dan kerupuk dari daun teh jeruju hingga mendirikan credit union, semacam koperasi simpan pinjam.
Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan. Meski banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di bidang pangan. "Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan," kata Tejo.
Seruan ini cukup beralasan. Setelah data BPS tahun 2006 yang menunjukkan populasi petani perempuan yang lebih besar, pada tahun 2010, data BPS juga semakin menguatkan desakan para LSM ini. Pada 2010, dari 237 juta penduduk Indonesia, sebanyak 119 juta penduduk (50%) tinggal di desa yang sebagian besar dalam keadaan miskin. Sebanyak 59 juta orang (49%) dari mereka adalah perempuan.
Di sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan. "Selama perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak akan cepat selesai," tutur Tejo.
Selamat menyambut hari perempuan sedunia. Ingatlah, dalam setiap makanan yang kita asup, ada peran perempuan di sana.

JAKARTA. Lintas Me.com

content top